MUNGKIN sejak 1.000-an tahun lalu orang sudah mengenal wilayah kepulauan yang 17 Agustus 1945 berdaulat dengan nama Indonesia. Indonesia kaya-raya akan keanekaragaman hayati di permukaan, perut bumi, dan lautannya. Magnitude itu pula yang antara lain membuat bangsa asing Eropa seperti Belanda dan Inggris, selain Jepang yang sesama Asia, tak cuma pernah singgah di sini. Mereka mengeksploitasinya sebagai wilayah jajahan.
Sejarah umumnya menyebut, Belanda saja menjajah Indonesia selama 3,5 abad, sedangkan Jepang 3,5 tahun. Tetapi, lamanya Belanda menjajah, sudah ada yang mengoreksi. Logis, mengingat wilayah yang dulu disebut Nusantara kemudian menjadi Hindia Belanda ini, saat itu belum merupakan satu kesatuan wilayah negara. Masih terpecah-pecah dengan para penguasa daerah setempat di pulau-pulau terpisah lautan. Dengan demikian, praktis dalam upaya menguasai, penjajah menghadapi kendala berupa dinamika mobilitasnya sendiri di satu pihak, dan perlawanan penguasa setempat bersama penduduk di lain pihak.
Hal itu mengakibatkan tidak segera secara merata penjajahan bisa diterapkan serentak bersamaan di semua wilayah. Bahkan, sejarawan asing G.J. Resink menulis buku dengan judul “Bukan 350 Tahun Dijajah”. Sejarawan terkemuka Indonesia A.B. Lapian (alm) menutup kata pengantarnya untuk buku ini, “… Resink hanya berusaha membawa kembali penulisan sejarah Indonesia ke dalam proporsi yang lebih tepat (Komunitas Bambu, Jakarta, 2012).
Hasil sensus September 2020 menunjukkan negara yang terbagi menjadi 34 provinsi ini, dihuni oleh 270,20 juta jiwa. Sungguh beban berat. Sepuluh tahun terakhir, pertambahan penduduk melalui program Keluarga Berencana (KB), sangat mungkin jauh dari terkendali, seiring penerapan otonomi daerah pasca 1998. Kemudian, yang terjadi adalah lompatan pertambahan penduduk sekitar 32,56 juta jiwa dari jumlah penduduk hasil sensus 2010. Jika dirata-rata, berarti negeri ini terbebani pertumbuhan penduduk setiap tahunnya sekitar 3,5 juta jiwa. Padahal, sebaran penduduk tidak merata. Terdapat provinsi amat padat penduduk, khususnya di Jawa, tapi juga ada provinsi yang sebaliknya. Kenyataan seperti ini juga bisa ditemukan di kabupaten-kabupaten dan kota-kota (bagian dari provinsi) yang baru lahir pasca 1998.
Jika di masa silam negeri ini berikut manusianya dieksploitasi oleh penjajah, kini sudah setahun pertama Indonesia juga “dijajah” tanpa tahu wujud “penjajahnya”. Wujud musuh bersamanya itu tak senyata wujud penjajah asing. Indonesia tidak sendirian, memang. Tercatat 222 negara di dunia dilanda Covid-19 yang bermula Desember 2020 dari Wuhan, Cina. Laman resmi “Covid10.go.id” tanggal 4 Februari 2021 menyajikan data Sebaran Covid-19 sudah meliputi 510 kabupaten/ kota (dari seluruh 514 kabupaten/ kota, pen) dalam 34 provinsi.
Dari daerah-daerah tersebut terdata, jumlah kumulatif atau pasien terkonfirmasi positif sejak kasus pertama hingga kini, mencapai 1.123.105 kasus. Sementara jumlah terkonfirmasi negatif Covid-19 dari hasil periksa laboratorium, mencapai 5.199.245 kasus, termasuk tambahan di hari yang sama sebanyak 30.734 kasus. Kemudian, terakhir pada 5 Februari 2021 terdata, sebanyak 1.134.854 terkonfirmasi Covid-19 orang (termasuk tambahan baru 11.749 orang), sembuh 926.980 (penambahan sembuh 9.674 orang), dan meninggal 31.202 orang (termasuk terakhir meninggal 201 orang).
Jadi, dari seluruh kabupaten/ kota, tinggal tersisa empat saja yang tak terdata masuk dalam wilayah sebaran pandemi. Itu pun patut diragukan, mengingat virus Corona menyebar tak kenal batas wilayah administrasi, tapi beriringan dengan pergerakan manusia yang sulit dibendung. Motivasi pergerakan manusianya, bisa saja lantaran perilaku yang terkait dengan mobilitas berlatar ragam alasan seperti pekerjaan, tuntutan mencari nafkah, maupun sekadar ‘konkow’. Tetapi, tak bisa diabaikan juga kebauran antara “bengal dan sangsi” atau “percaya dan tidak” bahwa Covid-19 memang ada dan sedang menebar kemana-mana.
Paling ironis adalah ketika kebandelan terhadap anjuran membiasakan hidup dengan 3M (tetap mengenakan masker, menjaga jarak, sering-sering mencuci tangan dengan air mengalir). Selain, pembatasan sosial (PS) dan pembatasan fisik (PF) juga banyak diabaikan. Terbukti sering ditemukan kerumunan pada sejumlah acara, di warung, kafe, tempat hiburan, antre di jalan, dan paling mencolok adalah di saat hari libur. Demikian juga dengan even kumpul-kumpul massa politik atau organisasi massa. Tak sedikit kemudian setelahnya, muncul kasus baru Covid-19 berupa klaster-klaster kerumunan, keluarga dan rukun tetangga (RT). Jadi, ini bukan lagi sekadar berpotensi.
Pergerakan manusia secara sadar yang bertentangan dengan pencegahan, mungkin dapat dikatakan anomali. Sebab, pencegahan itu jelas untuk kepentingan mereka sendiri, menyelamatkan keluarga, komunitas, dan masyarakat untuk skala lebih besar. Jika langkah ini dapat dimasukkan ke dalam kategori pembangunan manusia Indonesia (di bidang kesehatan), layaklah disimak sifat-sifat kelemahan yang dikemukakan antropolog Koentjaraningrat yaitu, tak percaya pada diri sendiri, tak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab sendiri (1984: 50). Hal serupa juga pernah disitir oleh budayawan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan tentang sifat “Manusia Indonesia” di TIM, Jakarta, 6 April 1977 (“Manusia Indonesia ,Sebuah Pertanggung Jawaban ”, 2017).
Tulisan ini, dengan optimistik tinggi, secara relatif membahas antisipasi terhadap kemungkinan perubahan perilaku dan sikap pada manusia Indonesia menjadi individualistik ketika Covid-19 tuntas teratasi. Bukankah secara umum masyarakat Indonesia dalam sehari-hari terbiasa berkelindan sebagai masyarakat yang guyub? Tetapi, berbanding ekstrem dengan itu, kini manusia Indonesia yang terbiasa guyub, dihadapkan pada pilihan berada dalam kebiasaan baru dengan PS dan PF.
Belum tahu lagi, entah sampai kapan dan seberapa kuat pula pertahanan dan ketahanan yang dimiliki untuk itu.
Lampaui Standar WHO
KINI Indonesia sudah 76 tahun berdaulat. Keadaan jauh berbeda. Secara administrasi pemerintahan dengan segala aspek pendukungnya banyak mengalami kemajuan, termasuk sistem data bagi keperluan negara. Laman Badan Pusat Statistik (BPS) yang diunduh Sabtu, 6 Februari 2021 menyebutkan, luas wilayah Indonesia 1.916.9066, 77 km persegi terdiri atas 16.056 pulau.
Melihat kasus Covid-19 di Indonesia, jangan buru-buru membandingkannya dengan jumlah penduduk dan dampak yang mereka alami, termasuk kasus meninggal dunia. Persentasenya pasti kecil. Tapi, lihat kasusnya yang terus menaik dari hari ke hari, membuktikan bahwa cepatnya sebaran yang beriringan dengan mobilitas manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, ‘mortality rate’ Covid-19 di Indonesia 0,34 per 100.000 penduduk. Bila dipersentasekan, maka angka kematian Covid-19 di Indonesia sebesar 3,4 persen. Data ini merupakan hasil analisis WHO pada periode 23 - 29 November 2020.
Padahal, menurut WHO persentase kematian akibat Covid-19 global sebesar 2,39 persen. Berarti di Indonesia 1,1 % lebih di atas itu. Saat ini sudah setahun Corona menyerbu Indonesia, data terakhir 5 Februari 2021 angka positif Covid-19 bertambah menjadi 1.134.854 (termasuk tambahan baru 11.749 orang), dipastikan persentase pun naik pula. Sekali lagi, jangan bandingkan jumlah penduduk dengan jumlah mereka yang terjangkit, tapi lihatlah laju kecepatan pertambahan kejangkitan yang beriringan dengan mobilitas manusia dan perilakunya termasuk tidak konsisten terhadap 3M serta PS dan PF.
Sudah setahun pertama berjangkit, ada ironi di lapangan. Penanganan yang gencar tak beriringan dengan perubahan perilaku manusianya. Paling menonjol adalah kebandelan sehingga mencipta kerumunan dan inkonsitensi menjalankan 3M. Di lain pihak, memang kebijakan dari Pemerintah cenderung bergerak seperti “cucuk-cabut, tarik ulur” dalam penerapan pembatasan. Jika melandai sedikit saja, terjadi pengenduran di lapangan. Mungkin saja ada pertimbangan perekonomian dan ketersediaan anggaran Pemerintah. Akibatnya, bisa dipahami bila hasil yang dikerjakan petugas lapangan seperti tak beringsut dari “aksi sosialisasi” sambil terus berbagi masker dan menjatuhkan sanksi sosial, seperti mengalungi pembangkang dengan karton pengakuan “saya pelanggar 3M” sambil membersihkan sampah atau ‘push up’.
Kini sudah ada vaksin (bukan obat, tapi bibit penyakit yang sudah dilemahkan, kemudian divaksinasikan untuk kekebalan). Jumlah ketersediaannya untuk dua kali vaksinasi bagi minimal 181 juta lebih orang Indonesia, masih berkejaran dengan pertambahan penderita baru Covid-19. Di antara bermunculannya klaim-klaim sudah ditemukannya obat, tapi belum teruji, obat sebagai upaya untuk mengobati (kuratif) hingga kini, belum ditemukan. Dalam kondisi seperti ini lah sosialisasi 3M, PS, dan PF, terus digalakkan secara besar-besaran terutama melalui pengawasan lapangan. Langkah-langkah yang melibatkan Satpol Pamong Praja, Polri, dan TNI ini, bahkan tak jarang sampai kepada penjatuhan sanksi baik sanksi sosial atau denda uang.
Kumpul-kumpul sekadar melepaskan kejenuhan dilakukan berkali-kali, di saat serbuan Covid-19 masih tinggi, jika menggunakan pembenaran sebagai kebiasaan hidup ‘guyub’, jelas kesalahkaprahan. Secara bahasa ‘guyub’ dipadankan dengan ‘rukun’ yang diartikan ‘baik dan damai’, ‘bersatu hati’ atau ‘bersepakat’ (KBBI, 2002: 378, 966), tentu dapat dilakukan dengan menyesuaikan dengan keadaan termasuk kemajuan teknologi informasi (TI). Media seperti ini sudah banyak digunakan, bahkan jauh-jauh sebelum Covid-19 menyerbu. Mereka sudah menggunakannya untuk sekadar ‘say hello’, percakapan sehari-hari, urusan kantor atau keperluan bisnis skala besar.
Paling dekat dengan guyub adalah secara konkret mengatasi kesulitan di masa serbuan Covid-19 dalam kebersamaan. ‘Gotong’ oleh masyarakat dikenal berasal dari kata bahasa Jawa. Oleh KBBI, ‘gotong’ dilanjutkan dengan ‘menggotong’ yang diartikan “membawa (barang yang berat) bersama-sama oleh dua orang atau lebih. Maka, izinkan penulis menggunakan ‘gotong-royong’ sebagai ‘bekerja sama’, ‘tolong-menolong’, bantu-membantu’ (KBBI, 2002:370).
Meski pernah mendapat jawaban dari lexikograf ulung Prof. Zoetmulder bahwa dalam kesusasteraan Jawa Kuno dan Jawa Madya istilah ‘gotong-royong’ tidak ada, antropolog terkemuka Koentjaraningrat menyatakan, tentu belum berarti kenyataan bahasa sehari-hari antara rakyat di desa-desa, tidak ada. Bahkan, menurutnya, ‘gotong-royong’ yang dinilai tinggi itu merupakan suatu konsep yag erat sangkut-pautnya dengan kehidupan rakyat kita sebagai petani dalam masyarakat agraris (1984: 56). Mengutip ‘founding father’ Indonesia Ir. Sukarno, Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila, Yudi Latif mengatakan, “….Semangat cinta kasih itulah yang dalam kata kerjanya disebut Bung Karno dengan gotong-royong. Gotong-royong adalah lebih dinamis daripada kekeluargaan. ….Amal semua untuk kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua….” (2015: 44).
Bersyukur di masa serbuan Covid-19 yang tak tahu kapan kan berakhirnya, kegotong-rotongan masih terpelihara. Di antara kebengalan menjalankan anjuran 3M, PS, dan PF, setidaknya gotong-royong masih hidup mana-mana. Kenyataan serupa ini didapati ketika seorang kepala keluarga harus dirawat berminggu-minggu di rumah sakit menyusul serangan Covid-19 yang membuatnya tak berdaya. Ketika itu lah warga sekitar bergotong-royong mengatasi kebutuhan keluarga yang harus mengurung diri di rumah selama berminggu-minggu pula. Ini, antara lain bisa ditemukan beberapa waktu lalu di Blok D dan Blok G Legok Permai, Legok, Tangerang, Banten. Di dalam pemukiman berklaster-klaster ini, mereka yang berlatar etnis, profesi, agama, budaya, dan profesi tetap hidup guyub dengan bergotong-royong.
Pertahanan Gotong-royong
BENCANA alam masif, senantiasa berdampak panjang pada penuruan kualitas hidup manusia. Tentu saja, yang lebih parah adalah mereka yang sebelumnya memang masuk dalam klasifikasi miskin atau nyaris miskin. Bencana alam, akan cepat mengundang solidaritas, mulai dari orang-orang dalam satu negara, bahkan antarnegara. Selain karena penyebabnya jelas, juga karena masih banyak orang berkehidupan normal di wilayah lain dengan tingkat solidaritas dan kemampuan ekonomi lebih bagus. Juga, lebih banyak akibat bencana yang kasat mata, yang selalu muncul prakiraan kapan bencana dan ikutannya akan dapat teratasi secara lebih kalkulatif.
Individu, keluarga dan masyarakat merupakan basis pertahanan dan ketahanan nasional. Sampai kapan Covid-19 akan tuntas tertangani, belum ada yang bisa memperkirakan. Upaya yang dilakukan baru pada tataran pencegahan. Sementara, mungkin tak disadari, bahwa PS dan PF, sedikit-banyaknya bermuatan ‘pengasingan diri’ disebabkan oleh adanya ‘ancaman musuh tak jelas wujud, bila datang dan perginya’. Bahkan, ada pula yang mengalami ‘diasingkan’ seperti pada kasus-kasus penolakan jenazah pasien Covid-19 dimakamkan oleh warga di pemakaman kampung mereka. Juga, tak sedikit kasus keluarga yang dijauhi oleh warga yang ketakutan terpapar. Padahal, cuma karena pengetahuan yang sepotong-sepotong.
Menjawab munculnya “potensi ancaman” tersebut, rekomendasi bagi Pemerintah adalah agar bersama pranata-pranata sosial yang ada serta melibatkan langsung masyarakat, agar sekarang juga menghidup-hidupkan gotong-royong. Akan menjadi lebih baik gotong-royong terlambagakan, produktif berskala lebih masif, dan efektif hingga masa-masa ‘recovery’ pasca Covid-19 pergi.
Upaya-upaya yang selama ini lebih cenderung ‘given’ bagi si penerima, dengan demikian, akan berubah menjadi gerak juang bersama dalam kegotong-royongan. Inklud di dalamnya adalah solusi relegius, manajerial, ekonomi, dan penguatan budaya gotong-royong. Inilah yang akan mampu membangun ketahanan. Tetap jalankan 3M, PS, dan PF! **