Pengamat Kepolisian dan Budaya, Suryadi, mengatakan, terlalu lama kalau cuma untuk membahas persoalan Tanah Bengkok Desa Tobat itu harus lebih dahulu menunggu delapan bulan baru diagendakan.
“Ada persoalan manajemen, bagaimana, kok hanya soal mengakomodasi ke dalam agenda, baru delapan bulan kemudian diagendakan, seharusnya persoalan rakyat dan tanah itu, jadi prioritas,” kata Suryadi. Jumat, (12/3/2021).
Pendiri Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL) itu menilai, sebenarnya hampir di seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, musyawarah sudah menjadi bentuk dan ciri yang senantiasa dikedepankan dalam berbagai persoalan yang tumbuh sehingga tidak berkembang lebih jauh.
Komunikasi yang efektif, lanjutnya, akan mampu memengaruhi bagaimana suatu persoalan bisa “nyambung” antara pihak- pihak yang berbeda bahkan berselisih sehingga dapat diselesaikan melalui musyawarah.
“Jadi, mungkin kalau DPRD tanggap secara sedini, tak perlu ada pemasangan plang lahan atau saling klaim dari para pihak. Maka, semua terhindar dari persoalan hukum,” kata Suryadi.
Lebih lanjut Wasekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) ini mengatakan, soal Tanah Bengkok Desa Tobat itu kini akibantnya tak bisa dihindarkan, seolah ada saling klaim.
“Rakyat keluarkan berkas pembuktian, pihak investor juga nanti menyatakan berhak mengembangkan. Bagaimana pun investor tidak mungkin bergerak tanpa ada motivasi dan alas formal. Jadi meluas deh masalahnya?” kata Suryadi.
Bagaimanapun, persoalan yang sudah mulai menyentuh ke ranah hukum ini, harus diselesaikan dengan solusi yang produktif.
Pertama-tama, jika benar itu tanah desa dan tidak ada hal yang membenarkan itu dapat dialihfungsikan, maka harus lebih dahulu dikembalikan ke posisi semula ketika tak bermasalah.
"Kembalikan ke titik nol bahwa itu adalah tanah desa. Di lain sisi penegak hukum harus mulai bekerja mengungkap bagaimana di atas lahan itu sampai bisa terjadi akan dibangun pasar tematik,” kata Suryadi.
Di sisi rakyat atau desa juga harus berbenah. Kata Suryadi, lahan kurang lebih seluas 6,18 hektar itu sendiri benarkah selama sudah dikelola untuk kepentingan umum sehingga produktif bagi rakyat atau desa.
Jadi langkah saat ini, bukan menstatuskan lahan tersebut. Tetapi, lanjutnya kembalikan saja kepada posisi semula.
Jika itu memang tanah lahan desa, urainya, kembalikan kepada fungsinya sehingga dapat produktif untuk kepentingan desa atau kepentingan umum.
(Mad Sutisna)